Jumat, 17 Januari 2014

Makalah Agroforestri Khas Kalimantan Timur



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih-guna lahan tersebut di atas dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan. Agroforestri, sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian dan kehutanan, berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan sistem agroforestri yang telah dipraktekkan petani sejak dulu kala. Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (subjek). Dengan demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada masalah teknik dan biofisik saja tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang selalu berubah dari waktu ke waktu, sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis.
Penanaman berbagai macam pohon dengan atau tanpa tanaman setahun (semusim) pada lahan yang sama sudah sejak lama dilakukan petani di Indonesia. Contoh ini dapat dilihat dengan mudah pada lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani. Praktek ini semakin meluas belakangan ini khususnya di daerah pinggiran hutan dikarenakan ketersediaan lahan yang semakin terbatas. Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversi menjadi lahan usaha lain. Maka lahirlah agroforestri sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian atau kehutanan. Ilmu ini berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan sistem agroforestri yang telah dikembangkan petani di daerah beriklim tropis maupun beriklim subtropis sejak berabad-abad yang lalu. Agroforestri merupakan gabungan ilmu kehutanan dengan agronomi, yang memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan, maka dari itu dibuat makalah ini untuk mengeksplor tipe-tipe agroforestri lokal khas Kalimantan Timur, agar dapat dijadikan sebagai acuan pembelajaran.

1.2 Tujuan Makalah
1.      Mengetahui jenis agroforestri yang merupakan agroforestri lokal Kalimantan Timur
2.      Mengetahui peran dari agroforestri khas Kalimantan Timur
3.      Mengetahui peran pemerintah dalam keikut sertaan dalam menjaga agroforestri khas lokal Kalimantan Timur

1.3 Rumusan Masalah
1.      Apa saja jenis agroforestri lokal yang ada di Kalimantan Timur?
2.      Bagaimana peran dari agroforestri lokal khas Kalimantan Timur?
3.      Bagaimanakah peran pemerintah dalam keikut sertaan dalam menjaga agroforestri khas lokal Kalimantan Timur?

1.4 Manfaat Makalah
            Makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan serta informasi tentang agroforestri lokal khas Kalimantan Timur dan dijadikan sebagai salah satu bagian dari corak kebudayaan masyarakat lokal Kalimantan Timur yang memiliki peran optimal membantu dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.






BAB II
TELAAH PUSTAKA

2.1 Pengertian Agroforestri menurut berbagai ilmuan:
Menurut P.K.R. Nair, Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan terpadu, yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama atau bergiliran, sehingga dari satu unit lahan tercapai hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam arti berkesinambungan.
Menurut K.F.S. King dan M.T. Chandler Agroforestri  merupakan sistem pengelolaan lahan berkelanjutan dan mampu meningkatkan produksi lahan secara keseluruhan, merupakan kombinasi produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman tahunan) dengan tanaman hutan dan/atau hewan (ternak), baik secara bersama atau bergiliran, dilaksanakan pada satu bidang lahan dengan menerapkan teknik pengelolaan praktis yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat.
Menurut L. Roche Agroforestri merupakan  penanaman pepohonan secara bersamaan atau berurutan dengan tanaman pertanian atau peternakan, baik dalam lingkup keluarga kecil ataupun perusahaan besar. Agroforestri tidak sama dengan hutan kemasyarakatan (community forestry), akan tetapi seringkali tepat untuk pelaksanaan proyekproyek hutan kemasyarakatan".

2.2 Klasifikasi Agroforestri
2.2.1 Sistem agroforestri sederhana
Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong atau pagar.
Jenis-jenis pohon yang ditanam sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi (kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka, melinjo, petai, jati, mahoni) atau bernilai ekonomi rendah (dadap, lamtoro, kaliandra). Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan (padi gogo, jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubikayu), sayuran, rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.
Bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak dijumpai di Jawa adalah tumpangsari Bratamihardja (1991) dalam Hairiah et al (2003)  atau taungya yang dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial dari PT Perhutani. Petani diberi ijin menanam tanaman pangan di antara pohon-pohon jati muda dan hasilnya untuk petani, sedangkan semua pohon jati tetap menjadi milik PT Perhutani.
Bentuk agroforestri sederhana ini juga bisa dijumpai pada sistem pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya, bentuk ini timbul sebagai salah satu upaya petani dalam mengintensifkan penggunaan lahan karena adanya kendala alam, misalnya tanah rawa. Sebagai contoh, kelapa ditanam secara tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di pantai Sumatera (Hairiah et al., 2003).
Gambar 1. Agroforestri sederhana tembakau ditanam di antara barisan pohon   siwalan
2.2.2 Sistem agroforestri kompleks
Menurut ICRAF (1996) dalam Hairiah et al (2003) sistem agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest.
Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestri kompleks ini dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’, yang biasanya disebut hutanyang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta, 2000). Contohnya ‘hutan damar’ di daerah Krui, Lampung Barat atau ‘hutan karet’ di Jambi.
Gambar 2. Agroforestri kompleks yang terdiri dari beberapa jenis pohon buah-buahan

2.3 Agroforestri di Indonesia
Penanaman berbagai jenis tanaman tahunan dengan atau tanpa tanaman musiman, dengan tanpa ternak pada sebidang lahan yang sama untuk menambah pendapatan dan kelestarian lingkungan disebut dengan “Agroforestri” atau “Wanatani”. Banyak definisi tersebut berkembang di berbagai daerah antara lain kebun campuran atau kebun campursari (Malang, Lampung Barat), kebun talun (Jawa barat), dusun (Ambon dan Papua), lembo (Kalimantan), parak (Maninjau, Sumatra Barat). Agroforestri merupakan system multifungsi lanskap yaitu sebagai sumber pendapatan petani, perlindungan tanah dan air di sekitarnya (Young, 1989), perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, pengendalian emisi karbon, dan mempertahankan nilai estetika lanskap (Hairiah et al., 2001; Nair 2012).
Sebaran dan macam agroforestri juga bervariasi di suatu lanskap yang saling berinteraksi satu sama lain. Bila agroforestry telah terbentuk dan menguntungkan secara ekonomi, kemungkinan untuk dialih gunakan menjadi bentuk penggunaan lain relatif kecil, kecuali bila ada tawaran lain yang jauh lebih menarik. Secara fisik agroforestri mempunyai susunan kanopi tajuk yang berjenjang (kompleks) dengan karakteristik dan kedalaman perakaran yang beragam pula, sehingga agroforestri merupakan teknik yang bisa ditawarkan untuk adaptasi karena mempunyai daya sangga (buffer) terhadap efek perubahan iklim antara lain pengendalian iklim mikro (Van Noordwijk, 2008), mengurangi terjadinya longsor (Hairiah et al., 2006), limpasan permukaan dan erosi serta mengurangi kehilangan hara lewat pencucian (Widianto et al., 2007; Suprayogo et al., 2002), dan mempertahankan biodiversitas flora dan fauna tanah (Dewi et al., 2006).

2.4 Agroforestri Khas Kalimantan Timur
            Kalimantan Timur merupakan sebuah kawasan yang memiliki kekayaan yang berlimpah, baik dari sektor pertanian, pertambangan, perhutanan dan lain-lain. Selain dari itu kalimantan memiliki budaya yang khas yang merupakan karakteristik masyarakat lokal Kalimantan Timur, dalam sektor perhutani yang disebut dengan agroforestri, Kalimantan Timur memiliki agroforestri lokal. Adapun jenis Agroforestri yang ada dikawasan Kalimantan Timur seperti rondong, simpung dan lembo.


























 BAB III
PEMBAHASAN

3.1    Jenis Agroforestri di Kalimantan Timur
Adapun jenis Agroforestri yang berasal dari Kalimantan kegiatan ini telah dilakukan secara turun temurun dengan berbagai macam bentuk sesuai dengan suku yang melakukannya, misalnya:
1.    Rondong atau kebun buah adalah satu bidang lahan atau lebih yang pada awal peruntukannya dibuka untuk kegiatan perladangan oleh masyarakat suku Kutai yang berada di sepanjang Sungai Mahakam. Setelah kegiatan perladangan berakhir, berbagai macam buah-buahan ditanam yang berasal dari hutan atau yang telah mereka budidayakan sebelumnya. Rondong banyak ditemukan di sepanjang sungai dan daerah pemukiman masyarakat.
2.    Simpung Munaan atau kebun buah adalah satu bidang lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Dayak Tunjung setelah mereka membuka ladang. Ladang yang telah ditanami padi, kemudian di beberapa bagian tertentu ditanam berbagai jenis buah-buahan. Oleh masyarakat suku Tunjung kegiatan ini rutin dilakukan sebagai upaya untuk memanfaatkan lahan yang masih kosong. Selain Simpukng Munaan dikenal juga beberapa jenis Simpukng di antaranya: Simpukng We’ yang merupakan kebun rotan, Simpukng Tanyut yang merupakan kumpulan pohon Benggeris yang dipelihara untuk diambil madunya (Angi dan Wijaya 2000).
3.    Lembo atau kebun buah adalah satu bidang lahan yang merupakan bekas ladang, tempat pemukiman atau rumah panjang (lamin) yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya. Oleh masyarakat Dayak Benuaq kebun buah ini ditanam oleh pemiliknya pada saat mereka membuka ladang, tinggal di rumah panjang atau pada saat bermukim di daerah tersebut. Dikenal berbagai macam lembo di antaranya: Lembo ladang dan lamin. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada di dalam Lembo cukup tinggi, baik dari tingkat pohon hingga tumbuhan bawah (Sardjono 1997).
Dalam melakukan pengelolaan lahan, manusia melakukan interaksi dengan komponen-komponen agroforestri lainnya. Komponen tersebut adalah:
1.      Lingkungan abiotis: air, tanah, iklim, topografi, dan mineral.
2.      Lingkungan biotis: tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll) serta tumbuhan tidak berkayu (tanaman tahunan, tanaman keras, tanaman musiman dll), binatang (ternak, burung, ikan, serangga dll), dan mikroorganisme.
3.      Lingkungan budaya: teknologi dan informasi, alokasi sumber-sumber daya, infrastruktur dan pemukiman, permintaan dan penawaran, dan disparitas penguasaan atau pemilikan lahan.

3.2    Peran dari Agroforestri lokal khas Kalimantan Timur
3.1.1 Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan
-        Meningkatkan persediaan pangan baik tahunan atau tiap-tiap musim; perbaikan kualitas nutrisi, pemasaran, dan proses-proses dalam agroindustri.
-        Diversifikasi produk dan pengurangan risiko gagal panen.
-        Keterjaminan bahan pangan secara berkesinambungan.
3.1.2 Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar:
Suplai yang lebih baik untuk memasak dan pemanasan rumah (terutama di daerah pegunungan atau berhawa dingin)
3.1.3 Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan maupun pertanian
-        Pemanfaatan berbagai jenis pohon dan perdu, khususnya untuk produk-produk yang dapat menggantikan ketergantungan dari luar (misal: zat pewarna, serat, obat-obatan, zat perekat, dan lain-lain) atau yang mungkin dijual untuk memperoleh pendapatan tunai.
-        Diversifikasi produk.
3.1.4 Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai:
-        Mengusahakan peningkatan pendapatan, ketersediaan pekerjaan yang menarik.
-        Mempertahankan orang-orang muda di pedesaan, struktur keluarga yang tradisional, pemukiman, pengaturan pemilikan lahan.
-        Memelihara nilai-nilai budaya.
3.1.5 Memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa
lingkungan setempat:
-        Mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan.
-        Perlindungan keanekaragaman hayati.
-        Perbaikan tanah melalui fungsi ‘pompa’ pohon dan perdu, mulsa dan perdu
-        Shelterbelt, pohon pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life fence).
-        Pengelolaan sumber air secara lebih baik.
-        Sebagai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

3.3    Peran pemerintah dalam menjaga agroforestri khas lokal
Adapun peran pemerintah dalam menjaga agroforestri khas lokal yaitu dengan membuat gagasan pada undang-undang dalam melaksanakan SK Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995 yang diperbaharui dengan SK Menhutbun No. 677/Kpts-II/1998, Pemerintah Daerah Kalimantan Timur berusaha mengembangkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). Praktek ini sebenarnya sudah ada dan telah dipraktekkan oleh masyarakat tradisional di Kalimantan Timur, dan bahkan jauh lebih luas cakupannya dari pada definisi yang dimaksud dalam SK tersebut. Dari penelitian Sardjono dan Samsoedin (1997), praktek PHBM ini banyak dijumpai pada masyarakat asli di Kabupaten Kutai dan Pasir serta Masyarakat Apokayan Kabupaten Bulungan, yang mana praktek PHBM tradisional tersebut terbagi menjadi tiga bagian besar yaitu :
1.      Pengelolaan tradisional hutan alam, yang terdiri dari contoh-contoh Tana’ulen (Dayak Kenyah di Apokayan Kabupaten Bulungan dan di Batu Majang ), Utan Adat Bengkut (Suku Pasir di Sepian Kabupaten Pasir);
2.      Budidaya pohon tradisional, terdiri dari contoh-contoh Simpukng (Dayak Benuag di Kec. Barong Tongkok dan Kec. Damai), Munaan (Dayak Tanjung di Barong tongkok dan Melak), Rondong (Suku Kutai di Kutai dan istilah Lembo (istilah umum di Kutai).
3.      Aneka usaha tradisional hasil hutan non kayu, terdiri dari contoh-contoh kebun We’ (di Kec. Damai dan Barong Tongkok, dan Dayak Bentian di kec. Bentian, kebun Gai (Dayak tanjung di Barong Tongkok dan Melak), kebun rotan (suku Pasir Kabupaten Pasir), pemungutan madu di Kutai dan Pasir, pemetikan sarang burung (di Kutai, pasir dan Berau), pemetikan gaharu (di Kab. Bulungan), Pemetikan Damar (di daerah Kayan Mentarang).






















BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
            Berdasarkan presentasi yang telah dilakukan sesuai dengan topik dan pertanyaan yang telah diajukan dari pihak audiens, maka dibuat dalam bentuk makalah ini yang disimpulkan sebagai berikut:
-        Agroforestri lokal Kalimantan Timur adalah agroforestri kompleks seperti lembo, simpung dan rondong
-        Peran dari agroforestri kompleks khas Kalimantan Timur ini memiliki beberapa nilai, yaitu nilai kebudayaan, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai ekologi dan nilai estetika.
-        Peran keikut sertaan pemerintah dalam menjaga agroforestri khas lokal yaitu dengan membuat gagasan pada undang-undang dalam melaksanakan SK Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995 yang diperbaharui dengan SK Menhutbun No. 677/Kpts-II/1998, Pemerintah Daerah Kalimantan Timur berusaha mengembangkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM).

4.2 Saran
            Sebaiknya untuk kedepannya pembuatan makalah jangan hanya studi agroforestri khas lokal Kalimantan Timur tapi perlu pembuatan makalah ataupun penelitian tentang agroforestri khas di beberapa provinsi yang ada di Pulau Kalimantan, seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan.

4.3 Ucapan Terima Kasih
            Terima kasih kepada dosen pengampuh mata kuliah Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) dan kepada rekan-rekan yang berpartisipasi dalam mata kuliah ini yang telah memberikan kritik dan saran serta penjelasan dan beberapa pertanyaan yang sangat berarti dalam pembuatan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Angi, E.M. dan A. Wijaya, 2000. Nilai-Nilai Budaya Lokal dalam Praktek Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kalimantan Timur Kompetensi Pengembangan Keanekaragaman Hayati dalam Era Otonomi Daerah. Makalah dalam Forum Keanekaragaman Hayati Indonesia pada tanggal 10-12 Juli 2001 di Jakarta.
Dewi, W S, 2007. Dampak alih guna lahan hutan menjadi lahan Pertanian: Perubahan diversitas cacing tanah dan fungsinya dalam mempertahankan pori makro tanah. Disertasi. Paska Sarjana, Universitas Brawijaya. Malang.
Hadi Pranoto. 2005. analisis kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat lokal. Universitas Mulawarman. Samarinda. EPP.Vol.2.No.1.2005:15-21
Hairiah K, Ekadinata A, Sari R R dan Rahayu S, 2011. Petunjuk praktis Pengukuran karbon tersimpan di hutan dan lahan-lahan Pertanian berbasis pohon. Ekstrapolasi dari tingkat lahan ke tingkat lanskap. World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia.
Nair P K R and Garrity D, 2012. Agroforestry research and development: The way forward. In: Nair P K R and Garrity D (eds.). Agroforestry – the future of global land use. Adv. Agroforestry, 9: 515-531.
Sardjono, M.A dan Samsoedin, I. 1997. Pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Kalimantan Timur. Jakarta.
Suprayogo D, Van Noordwijk M, Hairiah K and Cadisch G, 2002. The inherent ‘safety-net’ of ultisols: Measuring and modeling retarded leaching of mineral nitrogen. Eur.J.Soil Sci. 53, 185-194.
Van Noordwijk M, 2008. Agroforestri sebagai solusi mitigasi dan adaptasi pemanasan global: Pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan fleksibel terhadap berbagai perubahan. Makalah Bunga Rampai pada Seminar Nasional Agroforestri “Pendidikan Agroforestri sebagai strategi menghadapi pemanasan global”, UNS, Solo, 4-6 Maret 2008.
Widianto, Suprayogo D, Lestari I D, 2007. Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian: Apakah fungsi hidrologis hutan dapat digantikan sistem kopi monokultur? Prosiding Seminar sehari: “Penanganan Bencana Sumber Daya Pertanian”, 1 Februari 2007, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
Young A, 1989. Agroforestry for soil conservation. CABI-ICRAF. 276p.