BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Alih-guna lahan
hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti
penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan
dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu
ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih-gunakan
menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan
lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat
adanya alih-guna lahan tersebut di atas dan sekaligus juga untuk mengatasi
masalah pangan. Agroforestri, sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di
bidang pertanian dan kehutanan, berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan
sistem agroforestri yang telah dipraktekkan petani sejak dulu kala. Secara
sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus
diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (subjek). Dengan
demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada masalah teknik dan
biofisik saja tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang selalu
berubah dari waktu ke waktu, sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang
dinamis.
Penanaman
berbagai macam pohon dengan atau tanpa tanaman setahun (semusim) pada lahan
yang sama sudah sejak lama dilakukan petani di Indonesia. Contoh ini dapat
dilihat dengan mudah pada lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani. Praktek
ini semakin meluas belakangan ini khususnya di daerah pinggiran hutan
dikarenakan ketersediaan lahan yang semakin terbatas. Konversi hutan alam
menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan
kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan
bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke
waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversi menjadi
lahan usaha lain. Maka lahirlah agroforestri sebagai suatu cabang ilmu
pengetahuan baru di bidang pertanian atau kehutanan. Ilmu ini berupaya
mengenali dan mengembangkan keberadaan sistem agroforestri yang telah
dikembangkan petani di daerah beriklim tropis maupun beriklim subtropis sejak
berabad-abad yang lalu. Agroforestri merupakan gabungan ilmu kehutanan dengan
agronomi, yang memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk
menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan,
maka dari itu dibuat makalah ini untuk mengeksplor tipe-tipe agroforestri lokal
khas Kalimantan Timur, agar dapat dijadikan sebagai acuan pembelajaran.
1.2
Tujuan Makalah
1.
Mengetahui jenis agroforestri yang
merupakan agroforestri lokal Kalimantan Timur
2.
Mengetahui peran dari agroforestri khas
Kalimantan Timur
3.
Mengetahui peran pemerintah dalam keikut
sertaan dalam menjaga agroforestri khas lokal Kalimantan Timur
1.3
Rumusan Masalah
1.
Apa saja jenis agroforestri lokal yang
ada di Kalimantan Timur?
2.
Bagaimana peran dari agroforestri lokal
khas Kalimantan Timur?
3.
Bagaimanakah peran pemerintah dalam
keikut sertaan dalam menjaga agroforestri khas lokal Kalimantan Timur?
1.4
Manfaat Makalah
Makalah
ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan serta informasi tentang
agroforestri lokal khas Kalimantan Timur dan dijadikan sebagai salah satu
bagian dari corak kebudayaan masyarakat lokal Kalimantan Timur yang memiliki
peran optimal membantu dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1
Pengertian Agroforestri menurut berbagai ilmuan:
Menurut P.K.R. Nair, Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan
terpadu, yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui
pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan),
baik secara bersama-sama atau bergiliran, sehingga dari satu unit lahan
tercapai hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam arti
berkesinambungan.
Menurut K.F.S. King dan M.T. Chandler Agroforestri merupakan sistem pengelolaan lahan
berkelanjutan dan mampu meningkatkan produksi lahan secara keseluruhan,
merupakan kombinasi produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman tahunan)
dengan tanaman hutan dan/atau hewan (ternak), baik secara bersama atau
bergiliran, dilaksanakan pada satu bidang lahan dengan menerapkan teknik
pengelolaan praktis yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat.
Menurut L. Roche Agroforestri merupakan
penanaman pepohonan secara bersamaan atau berurutan dengan tanaman
pertanian atau peternakan, baik dalam lingkup keluarga kecil ataupun perusahaan
besar. Agroforestri tidak sama dengan hutan kemasyarakatan (community
forestry), akan tetapi seringkali tepat untuk pelaksanaan proyekproyek
hutan kemasyarakatan".
2.2 Klasifikasi Agroforestri
2.2.1 Sistem agroforestri sederhana
Sistem agroforestri sederhana adalah
suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu
atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar
mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau
dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong atau
pagar.
Jenis-jenis
pohon yang ditanam sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi (kelapa,
karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka, melinjo, petai, jati, mahoni) atau
bernilai ekonomi rendah (dadap, lamtoro, kaliandra). Jenis tanaman semusim
biasanya berkisar pada tanaman pangan (padi gogo, jagung, kedelai, kacang-kacangan,
ubikayu), sayuran, rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.
Bentuk
agroforestri sederhana yang paling banyak dijumpai di Jawa adalah tumpangsari Bratamihardja
(1991) dalam Hairiah et al (2003) atau taungya yang dikembangkan dalam rangka
program perhutanan sosial dari PT Perhutani. Petani diberi ijin menanam tanaman
pangan di antara pohon-pohon jati muda dan hasilnya untuk petani, sedangkan semua
pohon jati tetap menjadi milik PT Perhutani.
Bentuk
agroforestri sederhana ini juga bisa dijumpai pada sistem pertanian
tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya, bentuk ini timbul
sebagai salah satu upaya petani dalam mengintensifkan penggunaan lahan karena
adanya kendala alam, misalnya tanah rawa. Sebagai contoh, kelapa ditanam secara
tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di pantai Sumatera (Hairiah et al., 2003).
Gambar 1. Agroforestri sederhana
tembakau ditanam di antara barisan pohon
siwalan
2.2.2 Sistem
agroforestri kompleks
Menurut ICRAF
(1996) dalam Hairiah et al (2003) sistem agroforestri kompleks adalah
suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis
pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang
lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai
hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman
perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah
banyak. Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan
fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik
hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula
disebut sebagai agroforest.
Berdasarkan
jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestri kompleks ini dibedakan
menjadi dua, yaitu kebun atau
pekarangan berbasis pohon (home
garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’,
yang biasanya disebut ‘hutan’
yang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta, 2000). Contohnya
‘hutan damar’ di daerah Krui, Lampung Barat atau ‘hutan karet’ di Jambi.
Gambar
2. Agroforestri kompleks yang terdiri dari beberapa jenis pohon buah-buahan
2.3
Agroforestri di Indonesia
Penanaman
berbagai jenis tanaman tahunan dengan atau tanpa tanaman musiman, dengan tanpa
ternak pada sebidang lahan yang sama untuk menambah pendapatan dan kelestarian
lingkungan disebut dengan “Agroforestri” atau “Wanatani”. Banyak definisi tersebut
berkembang di berbagai daerah antara lain kebun campuran atau kebun campursari
(Malang, Lampung Barat), kebun talun (Jawa barat), dusun (Ambon dan Papua),
lembo (Kalimantan), parak (Maninjau, Sumatra Barat). Agroforestri merupakan
system multifungsi lanskap yaitu sebagai sumber pendapatan petani, perlindungan
tanah dan air di sekitarnya (Young, 1989), perlindungan terhadap keanekaragaman
hayati, pengendalian emisi karbon, dan mempertahankan nilai estetika lanskap
(Hairiah et al., 2001; Nair 2012).
Sebaran dan
macam agroforestri juga bervariasi di suatu lanskap yang saling berinteraksi
satu sama lain. Bila agroforestry telah terbentuk dan menguntungkan secara
ekonomi, kemungkinan untuk dialih gunakan menjadi bentuk penggunaan lain
relatif kecil, kecuali bila ada tawaran lain yang jauh lebih menarik. Secara
fisik agroforestri mempunyai susunan kanopi tajuk yang berjenjang (kompleks)
dengan karakteristik dan kedalaman perakaran yang beragam pula, sehingga
agroforestri merupakan teknik yang bisa ditawarkan untuk adaptasi karena
mempunyai daya sangga (buffer)
terhadap efek perubahan iklim antara lain pengendalian iklim mikro (Van
Noordwijk, 2008), mengurangi terjadinya longsor (Hairiah et al., 2006),
limpasan permukaan dan erosi serta mengurangi kehilangan hara lewat pencucian
(Widianto et al., 2007; Suprayogo et al., 2002), dan
mempertahankan biodiversitas flora dan fauna tanah (Dewi et al., 2006).
2.4
Agroforestri Khas Kalimantan Timur
Kalimantan
Timur merupakan sebuah kawasan yang memiliki kekayaan yang berlimpah, baik dari
sektor pertanian, pertambangan, perhutanan dan lain-lain. Selain dari itu
kalimantan memiliki budaya yang khas yang merupakan karakteristik masyarakat
lokal Kalimantan Timur, dalam sektor perhutani yang disebut dengan
agroforestri, Kalimantan Timur memiliki agroforestri lokal. Adapun jenis
Agroforestri yang ada dikawasan Kalimantan Timur seperti rondong, simpung dan
lembo.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Jenis
Agroforestri di Kalimantan Timur
Adapun jenis
Agroforestri yang berasal dari Kalimantan kegiatan ini telah dilakukan secara
turun temurun dengan berbagai macam bentuk sesuai dengan suku yang
melakukannya, misalnya:
1. Rondong atau kebun buah adalah
satu bidang lahan atau lebih yang pada awal peruntukannya dibuka untuk kegiatan
perladangan oleh masyarakat suku Kutai yang berada di sepanjang Sungai Mahakam.
Setelah kegiatan perladangan berakhir, berbagai macam buah-buahan ditanam yang
berasal dari hutan atau yang telah mereka budidayakan sebelumnya. Rondong
banyak ditemukan di sepanjang sungai dan daerah pemukiman masyarakat.
2. Simpung Munaan atau
kebun buah adalah satu bidang lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Dayak
Tunjung setelah mereka membuka ladang. Ladang yang telah ditanami padi,
kemudian di beberapa bagian tertentu ditanam berbagai jenis buah-buahan. Oleh
masyarakat suku Tunjung kegiatan ini rutin dilakukan sebagai upaya untuk
memanfaatkan lahan yang masih kosong. Selain Simpukng Munaan dikenal
juga beberapa jenis Simpukng di antaranya: Simpukng We’ yang
merupakan kebun rotan, Simpukng Tanyut yang merupakan kumpulan pohon
Benggeris yang dipelihara untuk diambil madunya (Angi dan Wijaya 2000).
3. Lembo atau kebun buah adalah
satu bidang lahan yang merupakan bekas ladang, tempat pemukiman atau rumah
panjang (lamin) yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya. Oleh masyarakat
Dayak Benuaq kebun buah ini ditanam oleh pemiliknya pada saat mereka membuka
ladang, tinggal di rumah panjang atau pada saat bermukim di daerah tersebut.
Dikenal berbagai macam lembo di antaranya: Lembo ladang dan lamin.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan yang
ada di dalam Lembo cukup tinggi, baik dari tingkat pohon hingga tumbuhan
bawah (Sardjono 1997).
Dalam
melakukan pengelolaan lahan, manusia melakukan interaksi dengan
komponen-komponen agroforestri lainnya. Komponen tersebut adalah:
1.
Lingkungan abiotis: air, tanah,
iklim, topografi, dan mineral.
2.
Lingkungan biotis: tumbuhan
berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll) serta tumbuhan tidak berkayu (tanaman
tahunan, tanaman keras, tanaman musiman dll), binatang (ternak, burung, ikan,
serangga dll), dan mikroorganisme.
3.
Lingkungan budaya: teknologi dan
informasi, alokasi sumber-sumber daya, infrastruktur dan pemukiman, permintaan
dan penawaran, dan disparitas penguasaan atau pemilikan lahan.
3.2
Peran
dari Agroforestri lokal khas Kalimantan Timur
3.1.1 Menjamin dan
memperbaiki kebutuhan bahan pangan
-
Meningkatkan persediaan pangan baik
tahunan atau tiap-tiap musim; perbaikan kualitas nutrisi, pemasaran, dan
proses-proses dalam agroindustri.
-
Diversifikasi produk dan pengurangan
risiko gagal panen.
-
Keterjaminan bahan pangan secara
berkesinambungan.
3.1.2 Memperbaiki
penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar:
Suplai yang lebih baik untuk memasak dan
pemanasan rumah (terutama di daerah pegunungan atau berhawa dingin)
3.1.3 Meningkatkan, memperbaiki
secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan maupun
pertanian
-
Pemanfaatan berbagai jenis pohon dan
perdu, khususnya untuk produk-produk yang dapat menggantikan ketergantungan
dari luar (misal: zat pewarna, serat, obat-obatan, zat perekat, dan lain-lain)
atau yang mungkin dijual untuk memperoleh pendapatan tunai.
-
Diversifikasi produk.
3.1.4 Memperbaiki
kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup
yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai:
-
Mengusahakan peningkatan pendapatan,
ketersediaan pekerjaan yang menarik.
-
Mempertahankan orang-orang muda di
pedesaan, struktur keluarga yang tradisional, pemukiman, pengaturan pemilikan
lahan.
-
Memelihara nilai-nilai budaya.
3.1.5 Memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa
lingkungan
setempat:
-
Mencegah terjadinya erosi tanah,
degradasi lingkungan.
-
Perlindungan keanekaragaman hayati.
-
Perbaikan tanah melalui fungsi ‘pompa’
pohon dan perdu, mulsa dan perdu
-
Shelterbelt,
pohon pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life
fence).
-
Pengelolaan sumber air secara lebih
baik.
-
Sebagai adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim.
3.3
Peran
pemerintah dalam menjaga agroforestri khas lokal
Adapun peran
pemerintah dalam menjaga agroforestri khas lokal yaitu dengan membuat gagasan
pada undang-undang dalam melaksanakan SK Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995
yang diperbaharui dengan SK Menhutbun No. 677/Kpts-II/1998, Pemerintah Daerah Kalimantan
Timur berusaha mengembangkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM).
Praktek ini sebenarnya sudah ada dan telah dipraktekkan oleh masyarakat
tradisional di Kalimantan Timur, dan bahkan jauh lebih luas cakupannya dari pada
definisi yang dimaksud dalam SK tersebut. Dari penelitian Sardjono dan
Samsoedin (1997), praktek PHBM ini banyak dijumpai pada masyarakat asli di
Kabupaten Kutai dan Pasir serta Masyarakat Apokayan Kabupaten Bulungan, yang
mana praktek PHBM tradisional tersebut terbagi menjadi tiga bagian besar yaitu
:
1.
Pengelolaan tradisional hutan alam, yang
terdiri dari contoh-contoh Tana’ulen (Dayak Kenyah di Apokayan Kabupaten
Bulungan dan di Batu Majang ), Utan Adat Bengkut (Suku Pasir di Sepian
Kabupaten Pasir);
2.
Budidaya pohon tradisional, terdiri dari
contoh-contoh Simpukng (Dayak Benuag di Kec. Barong Tongkok dan Kec. Damai), Munaan
(Dayak Tanjung di Barong tongkok dan Melak), Rondong (Suku Kutai di Kutai dan
istilah Lembo (istilah umum di Kutai).
3.
Aneka usaha tradisional hasil hutan non
kayu, terdiri dari contoh-contoh kebun We’ (di Kec. Damai dan Barong Tongkok,
dan Dayak Bentian di kec. Bentian, kebun Gai (Dayak tanjung di Barong Tongkok
dan Melak), kebun rotan (suku Pasir Kabupaten Pasir), pemungutan madu di Kutai
dan Pasir, pemetikan sarang burung (di Kutai, pasir dan Berau), pemetikan
gaharu (di Kab. Bulungan), Pemetikan Damar (di daerah Kayan Mentarang).
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Berdasarkan
presentasi yang telah dilakukan sesuai dengan topik dan pertanyaan yang telah
diajukan dari pihak audiens, maka dibuat dalam bentuk makalah ini yang
disimpulkan sebagai berikut:
-
Agroforestri lokal Kalimantan Timur
adalah agroforestri kompleks seperti lembo, simpung dan rondong
-
Peran dari agroforestri kompleks khas
Kalimantan Timur ini memiliki beberapa nilai, yaitu nilai kebudayaan, nilai
sosial, nilai ekonomi, nilai ekologi dan nilai estetika.
-
Peran keikut sertaan pemerintah dalam
menjaga agroforestri khas lokal yaitu dengan membuat gagasan pada undang-undang
dalam melaksanakan SK Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995 yang diperbaharui
dengan SK Menhutbun No. 677/Kpts-II/1998, Pemerintah Daerah Kalimantan Timur
berusaha mengembangkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM).
4.2
Saran
Sebaiknya
untuk kedepannya pembuatan makalah jangan hanya studi agroforestri khas lokal
Kalimantan Timur tapi perlu pembuatan makalah ataupun penelitian tentang
agroforestri khas di beberapa provinsi yang ada di Pulau Kalimantan, seperti
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan.
4.3
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih
kepada dosen pengampuh mata kuliah Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) dan kepada
rekan-rekan yang berpartisipasi dalam mata kuliah ini yang telah memberikan
kritik dan saran serta penjelasan dan beberapa pertanyaan yang sangat berarti
dalam pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Angi,
E.M. dan A. Wijaya, 2000. Nilai-Nilai
Budaya Lokal dalam Praktek Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kalimantan Timur
Kompetensi Pengembangan Keanekaragaman Hayati dalam Era Otonomi Daerah.
Makalah dalam Forum Keanekaragaman Hayati Indonesia pada tanggal 10-12 Juli
2001 di Jakarta.
Dewi,
W S, 2007. Dampak alih guna lahan hutan
menjadi lahan Pertanian: Perubahan diversitas cacing tanah dan fungsinya dalam
mempertahankan pori makro tanah. Disertasi. Paska Sarjana, Universitas
Brawijaya. Malang.
Hadi
Pranoto. 2005. analisis kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan dalam rangka peningkatan
partisipasi masyarakat lokal.
Universitas Mulawarman. Samarinda. EPP.Vol.2.No.1.2005:15-21
Hairiah
K, Ekadinata A, Sari R R dan Rahayu S, 2011. Petunjuk praktis Pengukuran karbon tersimpan di hutan dan lahan-lahan
Pertanian berbasis pohon. Ekstrapolasi dari tingkat lahan ke tingkat lanskap.
World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia.
Nair
P K R and Garrity D, 2012. Agroforestry
research and development: The way forward. In: Nair P K R and Garrity D
(eds.). Agroforestry – the future of
global land use. Adv. Agroforestry, 9: 515-531.
Sardjono,
M.A dan Samsoedin, I. 1997. Pengembangan
pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Kalimantan Timur. Jakarta.
Suprayogo
D, Van Noordwijk M, Hairiah K and Cadisch G, 2002. The inherent ‘safety-net’ of ultisols: Measuring and modeling retarded
leaching of mineral nitrogen. Eur.J.Soil Sci. 53, 185-194.
Van
Noordwijk M, 2008. Agroforestri sebagai
solusi mitigasi dan adaptasi pemanasan global: Pengelolaan sumberdaya alam yang
berkelanjutan dan fleksibel terhadap berbagai perubahan. Makalah Bunga
Rampai pada Seminar Nasional Agroforestri “Pendidikan Agroforestri sebagai
strategi menghadapi pemanasan global”, UNS, Solo, 4-6 Maret 2008.
Widianto,
Suprayogo D, Lestari I D, 2007. Alih Guna
Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian: Apakah fungsi hidrologis hutan dapat
digantikan sistem kopi monokultur? Prosiding Seminar sehari: “Penanganan Bencana Sumber Daya Pertanian”,
1 Februari 2007, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
Young
A, 1989. Agroforestry for soil
conservation. CABI-ICRAF. 276p.